Jumat, 10 Juni 2011

Telefon aku..

“Happy birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday dear Letta.. happy birthday to you..”
Pagi hariku disambut dengan sorak-sorai nyanyian yang lebih pantas disebut jeritan, mirip jeritan suporter bola di stadion. Ya, sebab adik kecilku yang masih berumur 5 tahun ikut menyanyikan “Lagu Wajib Ulang Tahun” itu dengan suara cedalnya dengan sangat melengking. Aku tak bisa membayangkan jika adikku ikut kompetisi Indonesian Idol dengan suara seperti itu. Bagaimana,ya tanggapan juri Anang Hermansyah? Hahaha.. namanya juga anak-anak.
“Selamat ulang tahun, Letta anak mama tersayang..”,kata mamaku seraya menciumku penuh cinta.
“Wah,makasih banyak,Ma”,balasku yang masih dipeluk erat mama.
“Kak Letta! Ayo kadonya cepat dibuka! Nanti bagi-bagi sama Lolloy,ya..”,ujar Lolly,adikku yang masih belum bisa melafalkan namanya secara fasih dan benar.
“Ih,enak saja. Ini kan punya kakak!”.
Hari ini, Minggu 23-4-2005, aku, Arletta Dewi genap berusia 18 tahun. Seperti remaja pada umumnya, ulang tahun = makan-makan. Sudah sejak jauh-jauh hari aku berencana akan mengadakan pesta kecil-kecilan bersama teman-teman di salah satu resto favorit kami di kota ini.
“Everything in my heart,is you.. and everything in my soul, is also only you.. there is no other.. only you.. my dearest one.. I wanna be yours.. lalala..”
Suara merdu milik Kaitlin Sheena dalam lagu ‘Wanna be Yours’, berdering keras dari Handphone-ku. Panggilan masuk. Oh,dari Fira,rupanya.
“Halo,Fira! Nanti jangan lupa harus datang ke Dellicy resto,lo! Nggak ada tapi-tapian,okey? Sekalian kasih tahu Dinda,Putra,Rafa,Diki,Ayu,Likga sama yang lain,ya! Kalian makan sepuasnya,deh!”,sahutku panjang lebar tanpa memberi kesempatan Fira berkata sepatah katapun.
“...” Hening, tiada suara.
“Halo,Fir? Fira? Kamu masih disitu?”,tanyaku memastikan keberadaan Fira.
“Eh,iya,Ta. Emm,itu. Ada yang penting. Emm,,”
“Penting? Apa Fir?”
Hening..
“Halo Fir, kamu bikin aku penasaran,deh..”
“Itu,Ta. Maaf. Kayaknya kita harus batalin acara kamu,deh.”
“Loh,kok gitu sih?”
“Barusan aku dapet kabar, kalau Putra.. Meninggal. Dia kecelakaan.”
“Wah,lelucon kamu nggak lucu,tuh! Ntar kalau kejadian beneran,lo! Aku nggak suka ah kalau surprisenya kayak gitu!”,sahutku sedikit kesal.
“Maaf,Ta. Ini bukan lelucon. Ini sungguhan.”
...
“tut,,tut,,tut..”,terdengan suara di handphone milik Fira,tanda terputusnya sambungan.
“Halo,,Letta? Letta kamu nggak papa?”,kini berganti Fira yang memastikan keberadaanku.
“tut,,tut,,tut..”,masih sama bunyinya. Sambungan telah terputus.
Seketika aku kaget. Tanpa sengaja telefon langsung aku tutup. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Menangisi kepergian mendadak sahabat yang harusnya ikut bergabung dalam acara bahagiaku. Tanpa pamit.
Siang ini Putra dimakamkan. Aku bersama teman yang lain ikut melayat ke rumah Putra. Kami semua terlarut dalam suasana duka di sana. Suara tangis pelayat terdengar di seluruh penjuru rumah duka.
Prosesi pemakaman dimulai. Isak tangis keluarga dan sahabat mengiringi. Semua terlarut dalam kesedihan yang mendalam. Hingga tanpa sengaja, handphone milik Putra yang dibawa oleh Ayahnya yang ikut menguburkan Putra,terjatuh di liang lahat,dan ikut terkubur bersama jenazah. Ironisnya, tak seorangpun yang tahu akan hal itu. Mungkin karena semua orang masih terlarut dalam duka. Hingga tak memperhatikan keadaan kecil namun sangat fatal terjadi.
Malam hari, masih di hari yang sama, Minggu 23-4-2005.
“Everything in my heart,is you.. and everything in my soul, is also only you.. there is no other.. only you.. my dearest one.. I wanna be yours.. lalala..”.
Handphone ku kembali berdering. Saat ku lihat layar handphone,betapa kagetnya aku. Tertulis nama “PUTRA” di layar. Ku coba mengangkat telefon itu dengan sangat hati-hati.
“Ha---lo?”
“Let-ta. Tol-long *ku. Samp*-ka* ma-af pad-da d*a”,suaranya lelaki itu terdengar berat, terputus-putus, dan terdengar suara bising dibalik suaranya.
“tut,,tut,,tut..”. telefon terputus.
Seketika ku lempar handphone-ku ke atas tempat tidur. Aku ketakutan. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan?
Kejadian itu tak berhenti pada malam itu saja. Di malam-malam berikutnya kejadian serupa juga datang padaku. Saat aku tak mengangkatnya, handphone ku tak pernah berhenti berdering. Bahkan, saat kucoba untuk mematikan handphone ku, tetap saja masih bisa menerima sambungan telefon dari Putra. Dan jika kuangkat, kata-katanya masih sama. Rangkaian kata yang sangat tidak jelas dan semakin membuatku bingung. “Tolong aku. Sampaikan maaf pada dia”. Begitu kira-kira jika orang yang ada dalam telefon itu mampu bersuara secara jelas. Namun, kepada siapa maaf itu ditujukan? Dan, siapa orang itu? Akankah dia P-U-T-R-A? Tidak mungkin!!!
Kucoba menceritakan semua kejadian telefon aneh itu pada keluarga Putra. Awalnya mereka tidak percaya. Malah sempat marah dan mengusirku. Namun, karena ketakutanku yang kian besar, aku sampai nekat masuk rumahnya dan menangis di hadapan keluarganya agar mereka mau mempercayai dan bersama-sama menguak misteri ini. Akhirnya, mereka mau mempercayaiku, dan mau membantuku memecahkan masalah ini.
Berhari-hari kami mencari info. Membongkar file-file pribadi Putra, menanyakan kepada orang-orang terdekat Putra,hingga suatu hari, Bimo, teman sebangku Putra datang ke rumah keluarga Putra. Kebetulan aku sedang ada di sana. Dia menceritakan, bahwa Putra pernah cerita sesuatu hal yang sangat penting kepadanya. Suatu hari, Putra tanpa sengaja menabrak anak kecil di jalan hingga anak kecil itu tewas. Tak ada satupun orang yang tahu. Karena ketakutan,ia langsung meninggalkan anak itu yang masih tergeletak di tengah jalan. Ternyata, anak kecil yang ditabraknya itu adalah Mita,sepupuku. Betapa kagetnya aku. Ibu Putra pun menangis tersedu.
Akhirnya aku mengerti, bahwa permintaan maaf itu ditujukan kepada tanteku. Tante Berta. Langsung saja orang tua Putra datang ke rumah tante Berta untuk meminta maaf. Dengan berlinang air mata Ibu Putra berharap tante Berta sudi memaafkan kesalahan Putra. Awalnya tante Berta marah. Ia menangis. Wajar, memang. Mendengar cerita dan permintaan maaf dari kedua orang tua Putra serasa membuka lembaran-lembaran kertas yang telah ia robek kecil tak beraturan. Namun, tante Berta akhirnya bersedia memaafkannya dengan ikhlas.
Setelah disampaikannya permintaan maaf pada tante Berta, keluarga meminta untuk membongkar makam Putra guna mengeluarkan handphone yang ikut terkubur. Kini, handphone itu telah dikeluarkan dari makam. Handphone itu telah rusak. Jangankan dipakai untuk telefon atau SMS, diaktifkan saja sudah tidak bisa.
Setelah handphone dikeluarkan, kini tak ada lagi telefon-telefon aneh yang datang di handphone ku. Semua telah selesai. Putra sudah tenang di alamnya. Aku kembali fokus dengan aktifitasku dalam pendidikan maupun di organisasi. Kucoba mengubur dalam-dalam tentang kepergian salah satu sahabat dekatku ini, meski sering terasa perih disaat aku dan sahabat-sahabat yang lain sedang berkumpul bersama. Itu adalah hal yang wajar. Sebab kami sudah seperti saudara.
Namun, yang hingga saat ini aku masih tak mengerti, kenapa yang ditelefon harus aku? Apakah karena aku adalah sepupu Mita? Ataukah karena aku sedang berulang tahun di hari nahasnya? Ataukah karena aku adalah sahabat dekatnya?
Entahlah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar